Taufik Hidayat resmi menutup karir
setelah kalah tiga set 21-15, 12-21, 17-21 di babak pertama Djarum Indonesia
Terbuka Super Series 2013 dari Sai Praneeth, Rabu (12/6) malam WIB.
Meski kalah, Taufik tetap mendapat penghormatan. Tepuk tangan para penonton yang memadati Gedung Istora Senayan Jakarta menjadi perpisahan yang berarti.
Pebulutangkis berusia 31 tahun itu memang tak sepatutnya dilupakan. Dia sudah menyumbangkan gelar yang mengharumkan nama bangsa di sepanjang 18 tahun berkarir di lapangan. Dan, kita akan bisa mengenangnya sebagai salah satu pebulutangkis legendaris Indonesia. Bagaimana kita bisa mengenangnya?
1. Backhand smash keras dan mematikan
Taufik Hidayat memiliki senjata andalan itu terutama saat dalam masa kejayaannya mulai dari tahun 2003. Inilah salah satu teknik yang kerap membuat lawan mati langkah.
Senjata ini juga yang bisa menjadikan Taufik sebagai seniman bulutangkis dunia karena dia juga dipersenjatai dengan teknik lain yang menjadikannya salah satu pemain terbaik dunia di era tahun 2000-an.
Dia juga dilengkapi dengan kekuatan jumping smash keras, pukulan drop shot akurat, langkah kaki yang lincah serta permainan net yang mematikan. Bahkan, pukulan backhand tak terduga dari balik tubuhnya juga menjadi senjata ampuh untuk mendulang poin.
Tampaknya, Taufik menyerap banyak ilmu dari sang guru, Iie Sumirat. Pelatih yang ikut berperan besar saat Taufik berlatih di klub SGS Elektrik ini memang cukup lengkap ketika masih aktif bermain di era tahun 1970-an.
Taufik memang tidak terlalu menyerap ilmu netting milik Iie Sumirat yang kerap tak tak terduga di area permainan lawan. Namun, Taufik tetap membangun karakternya sendiri yang tidak dimiliki sang guru, yaitu; pukulan backhand yang diarahkan tak terduga dengan keras.
2. Tak sempat juara di ajang All England
Kemampuan luar biasa Taufik Hidayat di lapangan tak pernah diragukan. Dia sudah menjadi yang terbaik di ajang Olimpade (tahun 2004), Kejuaraan Dunia (tahun 2005), berbagai ajang kejuaaan terbuka, serta memberikan kontribusi besar di ajang beregu seperti Piala Thomas.
Namun, Taufik seperti tak kuasa mengatasi persaingan di ajang kejuaraan bulutangkis tertua di dunia: All England. Dia hanya bisa menembus babak final pada tahun 1999 dan 2000.
3. Pengoleksi gelar terbanyak kedua Indonesia Terbuka
Sampai ujung karir, Taufik tak bisa menambah koleksi gelar juara di ajang Indonesia Terbuka. Padahal, satu lagi kemenangan akan membuat Taufik menyamai rekor Ardy Bernardus Wiranata " yang bisa juara sebanyak tujuh kali. Taufik hanya tertinggal satu dari seniornya itu.
Satu peluang terakhir yang dilewatkannya terjadi saat Taufik kalah dari Lee Chong Wei asal Malaysia di babak final tahun 2009. Taufik sukses meraih gelar juara di tahun 1999, 2000, 2002, 2003, 2004, dan 2006.
4. Satu dari empat "Heavenly Kings" bulutangkis dunia
Perjalanan karir Taufik Hidayat sebagai pemain besar membawanya dalam satu pencapaian besar dalam era keemasan sektor tunggal putra tahun 2000-an. Dia adalah salah seorang dari empat pemain besar dunia selain Peter Hoeg Gade (Denmark), Lin Dan (Cina), dan Lee Chong Wei (Malaysia). Mereka secara bergantian saling mengisi puncak peringkat dunia atau menjuarai turnamen.
Pertandingan yang melibatkan para raja di lapangan bulutangkis ini kerap menjadi tontonan yang sulit dilewatkan begitu saja. Sungguh hiburan luar biasa yang mereka suguhkan.
Kini, era kebesaran mereka hampir mencapai titik akhir. Gade lebih dulu meninggalkan panggung. Pada 2012, dia gantung raket pada usia 36 tahun. Kini, Taufik menyusul keputusan Gade dan menyudahi perjuangannya tepat di Djarum Indonesia Terbuka 2013.
Sepanjang tahun 2012-2013 ini persaingan empat raja bulutangkis ini juga semakin memudar setelah Lin Dan melakukan jeda karir. Lee Chong Wei, pemain peringkat satu dunia, mulai mendapatkan perlawanan dari pemain generasi muda yang didominasi pemain Cina.
5. Selalu bersama Mulyo Handoyo
Taufik Hidayat dikenal pemberani ketika diasuh Pelatnas Cipayung. Salah satunya dia tunjukkan dengan keinginan untuk terus bersama sang pelatih, Mulyo Handoyo. Taufik akhirnya mendapat keistimewaan: memiliki pelatih sendiri.
Ketika Mulyo memutuskan bekerja sebagai pelatih Singapura pada tahun 2001, Taufik bahkan sempat berusaha ikut. Dia memaksa PBSI menemukan jalan tengah dengan memakai tenaga Mulyo Handoyo kembali sebagai pelatih tunggal putera khusus untuk Taufik Hidayat di pelatnas.
Keputusan kontroversial lain? Taufik memutuskan keluar dari Pelatnas tahun 2009 karena ketidakhadiran Mulyo Handoyo sebagai pelatih, apabila dia meneken kontrak dengan PBSI.
Keputusan ini kemudian mendorong pemain lain yang ingin mencoba berkarir di luar Pelatnas Cipayung.
Meski kalah, Taufik tetap mendapat penghormatan. Tepuk tangan para penonton yang memadati Gedung Istora Senayan Jakarta menjadi perpisahan yang berarti.
Pebulutangkis berusia 31 tahun itu memang tak sepatutnya dilupakan. Dia sudah menyumbangkan gelar yang mengharumkan nama bangsa di sepanjang 18 tahun berkarir di lapangan. Dan, kita akan bisa mengenangnya sebagai salah satu pebulutangkis legendaris Indonesia. Bagaimana kita bisa mengenangnya?
1. Backhand smash keras dan mematikan
Taufik Hidayat memiliki senjata andalan itu terutama saat dalam masa kejayaannya mulai dari tahun 2003. Inilah salah satu teknik yang kerap membuat lawan mati langkah.
Senjata ini juga yang bisa menjadikan Taufik sebagai seniman bulutangkis dunia karena dia juga dipersenjatai dengan teknik lain yang menjadikannya salah satu pemain terbaik dunia di era tahun 2000-an.
Dia juga dilengkapi dengan kekuatan jumping smash keras, pukulan drop shot akurat, langkah kaki yang lincah serta permainan net yang mematikan. Bahkan, pukulan backhand tak terduga dari balik tubuhnya juga menjadi senjata ampuh untuk mendulang poin.
Tampaknya, Taufik menyerap banyak ilmu dari sang guru, Iie Sumirat. Pelatih yang ikut berperan besar saat Taufik berlatih di klub SGS Elektrik ini memang cukup lengkap ketika masih aktif bermain di era tahun 1970-an.
Taufik memang tidak terlalu menyerap ilmu netting milik Iie Sumirat yang kerap tak tak terduga di area permainan lawan. Namun, Taufik tetap membangun karakternya sendiri yang tidak dimiliki sang guru, yaitu; pukulan backhand yang diarahkan tak terduga dengan keras.
2. Tak sempat juara di ajang All England
Kemampuan luar biasa Taufik Hidayat di lapangan tak pernah diragukan. Dia sudah menjadi yang terbaik di ajang Olimpade (tahun 2004), Kejuaraan Dunia (tahun 2005), berbagai ajang kejuaaan terbuka, serta memberikan kontribusi besar di ajang beregu seperti Piala Thomas.
Namun, Taufik seperti tak kuasa mengatasi persaingan di ajang kejuaraan bulutangkis tertua di dunia: All England. Dia hanya bisa menembus babak final pada tahun 1999 dan 2000.
3. Pengoleksi gelar terbanyak kedua Indonesia Terbuka
Sampai ujung karir, Taufik tak bisa menambah koleksi gelar juara di ajang Indonesia Terbuka. Padahal, satu lagi kemenangan akan membuat Taufik menyamai rekor Ardy Bernardus Wiranata " yang bisa juara sebanyak tujuh kali. Taufik hanya tertinggal satu dari seniornya itu.
Satu peluang terakhir yang dilewatkannya terjadi saat Taufik kalah dari Lee Chong Wei asal Malaysia di babak final tahun 2009. Taufik sukses meraih gelar juara di tahun 1999, 2000, 2002, 2003, 2004, dan 2006.
4. Satu dari empat "Heavenly Kings" bulutangkis dunia
Perjalanan karir Taufik Hidayat sebagai pemain besar membawanya dalam satu pencapaian besar dalam era keemasan sektor tunggal putra tahun 2000-an. Dia adalah salah seorang dari empat pemain besar dunia selain Peter Hoeg Gade (Denmark), Lin Dan (Cina), dan Lee Chong Wei (Malaysia). Mereka secara bergantian saling mengisi puncak peringkat dunia atau menjuarai turnamen.
Pertandingan yang melibatkan para raja di lapangan bulutangkis ini kerap menjadi tontonan yang sulit dilewatkan begitu saja. Sungguh hiburan luar biasa yang mereka suguhkan.
Kini, era kebesaran mereka hampir mencapai titik akhir. Gade lebih dulu meninggalkan panggung. Pada 2012, dia gantung raket pada usia 36 tahun. Kini, Taufik menyusul keputusan Gade dan menyudahi perjuangannya tepat di Djarum Indonesia Terbuka 2013.
Sepanjang tahun 2012-2013 ini persaingan empat raja bulutangkis ini juga semakin memudar setelah Lin Dan melakukan jeda karir. Lee Chong Wei, pemain peringkat satu dunia, mulai mendapatkan perlawanan dari pemain generasi muda yang didominasi pemain Cina.
5. Selalu bersama Mulyo Handoyo
Taufik Hidayat dikenal pemberani ketika diasuh Pelatnas Cipayung. Salah satunya dia tunjukkan dengan keinginan untuk terus bersama sang pelatih, Mulyo Handoyo. Taufik akhirnya mendapat keistimewaan: memiliki pelatih sendiri.
Ketika Mulyo memutuskan bekerja sebagai pelatih Singapura pada tahun 2001, Taufik bahkan sempat berusaha ikut. Dia memaksa PBSI menemukan jalan tengah dengan memakai tenaga Mulyo Handoyo kembali sebagai pelatih tunggal putera khusus untuk Taufik Hidayat di pelatnas.
Keputusan kontroversial lain? Taufik memutuskan keluar dari Pelatnas tahun 2009 karena ketidakhadiran Mulyo Handoyo sebagai pelatih, apabila dia meneken kontrak dengan PBSI.
Keputusan ini kemudian mendorong pemain lain yang ingin mencoba berkarir di luar Pelatnas Cipayung.
0 komentar:
Posting Komentar